Ratna

Tahukah kamu? Ratna Asmara adalah sutradara perempuan pertama di Indonesia. Sebelum terjun ke dunia film, perempuan kelahiran Sawah Lunto (1913) ini telah akrab dengan dunia teater. Pada tahun 1930, Ratna menjadi tauke (pemimpin) kelompok pertunjukan bernama Suhara Opera. Kelompok ini berniat menunjukkan operanya ke seluruh Hindia Belanda. Ketika kelompok Ratna bermain di Gombong, Adnjar Asmara menyambangi dan mengajukan tawaran untuk bergabung dengan Dardanella. Ratna pun menyanggupi karena ia menganggap penggabungan dua kelompok ini akan memperbaiki kualitas pemain Suhera Opera. Kedekatan antara Ratna dan Andjar akhirnya diperikat lewat perkawinan pada tanggal 7 April 1931. Semenjak itu Ratna menggunakan nama suaminya menjadi Ratna Asmara.

Keputusannya untuk bermain tonil (sandiwara) pernah ditentang oleh keluarga besarnya. Ratna sempat berurusan dengan puhak berwajib karena sanak keluarganya menganggap pilihan untuk menjadi pemain tonil menyalahi adat. Tetapi, pihak kepolisian akhirnya membebaskan Ratna karena ia dianggap cukup dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya. [1]

Ratna selalu membawakan peran yang berat. Bintang film yang disukainya antara lain Greta Garbo, Barbara Stanwyck, Vivien Leigh dan Greer Garson. Ketika Andjar Asmara memutuskan untuk mengeksplorasi dunia film semasa Hindia Belanda, Ratna dan kelompok Dardanella turut serta dalam sebagai aktor. Kartinah (1940) adalah film pertama Andjar sebagai sutradara dan Ratna sebagai pemain. Java Industrial Film yang dipimpin oleh The Teng Chun memberikan 1.000 gulden untuk film ini. Menurut Misbach Yusa Biran, film ini juga mendapatkan subsidi dari pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan mesin jahit bernama Singer.[2] Setelahnya, Ratna bermain dalam film Andjar yang lain seperti Noesa Penida dan Ratna Moetoe Manikam. Kemudian selama masa Revolusi Nasional, Ratna membintangi satu film berjudul Djauh di Mata (1948).

Baru setelah tahun 1950, Ratna mendapatkan kesempatan untuk menyutradarai film. Mula-mula ia diminta oleh Djamaludiin Malik, pendiri Persari, untuk menyutrdarai film Sedang Malam. Djamaluddin menjadi produser dan Andjar menulis skenario. Kemudian Ratna menyutrdarai dua film untuk Djakarta Film Coy yakni Musim Bunga di Selabintana (1951) dan Dr Samsi (1952). Andjar tetap menulis skenario untuk kedua film ini.

Capaian Ratna tidak hanya sebagai sutradara perempuan pertama di Indonesia. Meskipun namanya selalu dibayang-bayangi oleh Andjar selaku suaminya, tetapi pergerakan Ratna tidak hanya pada dunia peran dan menyutrdarai semata. Pada tahun 1953, Ratna membentuk perusahan film yakni Ratna Film. Melalui perusahaan ini, Ratna melepaskan peran Andjar dalam pembuatan filmnya. Ia membuat film Nelajan (1953) dengan mengadaptasi naskah cerita yang ditulis oleh Mochtar Lobis. Penulis skenario adalah Wildan Ja’far. Menurut David T.. Hill, sekitar 60 persen gambarnya diambil di Labuan, Banten, dan Pulau Sahut pada bulan Juli 1953.[3]

Ratna Films akhirnya berganti nama menjadi Asmara Films. Kemudian, bertepatan dengan pemilihan umum pertama yang diadakan pada tahun 1955, Ratna juga membuat film berjudul Dewi dan Pemilihan Umum (1954). Film ini mengisahkan mengenai hiruk-pikuk suasana sebuah perusahaan menjelang pemilihan umum.[4]

[1] https://seputarteater.wordpress.com/2017/03/08/minggu-pagi-1952-ratna-asmara-sutradara-film-wanita-pertama-di-indonesia/ diakses pada 17 agustus 2018, 8:42 AM. “Ratna Asmara, Regiseur  Wanita yang Pertama di Indonesia”.

[2] Biran, Misbach Yusa (2009). Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bamboo bekerja sama dengan Jakarta Art Council. ISBN 978-979-3731-58-2, hlm. 214.

[3] http://sajarahbanten.blogspot.com/2016/12/film-nelajan-di-labuan.html diakses pada 17 Agustus 2018. 9:35 AM.

[4]http://server.idfilmcenter.com/pages/filminfo/movie.php?uid=75270a692600 diakses pada 17 Agustus 2018. 9:45 AM.

Leave a comment